Kamis, 25 Juli 2013

Sejarah Purwakarta

Keberadaan Purwakarta tidak terlepas dari sejarah perjuangan melawan pasukan VOC. Tercatat dalam sejarah Indonesia bahwa Pemerintahan Hindia Belanda dimulai pada tanggal 1 Januari 1800 setelah mengambil alih kekuasaan dari VOC yang dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799.

Pada tahun 1811 Tentara Inggris mendarat di Betawi dan Tentara Belanda menyerah. Kepala Pemerintahan di Jawa dipegang oleh Thomas Stamford Raffles yang banyak mengurangi kewenangan para Bupati. Antara lain Kabupaten Karawang dihapuskan. Pada tahun 1815 peperangan Inggris dengan Perancis (juga Belanda) berakhir. Belanda kembali menerima kekuasaan atas Hindia Belanda (1817).
Pada tahun 1820 Kabupaten Karawang dihidupkan kembali dengan wilayah yang meliputi daerah sebelah Timur Kali Citarum dan Cibeet serta sebelah Barat Kali Cipunagara kecuali Onderdistrct Gandasoli (sekarang Kecamatan Plered) yang pada waktu itu masuk kabupaten Bandung, sebagai Bupati pertama setelah Kabupaten Karawang dihidupkan kembali diangkat R. A. A. Suriawinata dari Bogor, yang kemudian memilih Wanayasa sebagai Ibukota Kabupaten. Setelah R.A.A. Suriawinata wafat (dimakamkan di daratan di tengah situ Wanayasa). Diganti oleh adiknya yakni R.A. Surianata yang dikenal masyarakat sebagai Dalem Santri (1821-1828). Pengganti berikutnya adalah R.A. Suriawinata (R.H. Moh. Syirod) atau Dalem Solawat yang memerintah pada tahun 1829-1849.
Pada masa pemerintahannya Ibukota Kabupaten Karawang dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih, yang kemudian diberi nama Purwakarta yang berarti purwa = Permulaan Karta = aman dan sentosa. Jadi nama Purwakarta baru ada dan baru dikenal pada saat Pemerintahan R.A. Suriawinata. Kejadian ini kemudian dikukuhkan oleh Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Purwakarta sebagai Hari jadi Purwakarta, yang tepatnya tanggal 23 Agustus 1830 M. Pada masa Pemerintahan R.A. Suriawinata inilah Kota Purwakarta mulai dibangun, antara lain pembuatan saluran besar (Solokan Gede) dari Parakansalam ke Kota Purwakarta, perataan lahan kota yang pada saat itu banyak berupa lembah-lembah dan rawa-rawa diantaranya yang sekarang menjadi “Situ Buleud” pada saat itu menurut cerita rakyat merupakan tempat badak berkubang (“paguyangan badak”). Setelah perataan dan penyiapan lahan, dibangunlah bangunan-bangunan pemerintah antara lain Kantor Kabupaten (terletak sebelah Timur Gedung Pemda yang sekarang), Gedung Kersidenan sekarang Kantor Pembantu Gubernur) dan pemukiman penduduk yang kini dikenal kompleks Pasar Rebo. Dalam upaya pembangunan tersebut ia dibantu oleh R. Surakusumah.
R.A. Suriawinata digantikan oleh pamannya yakni R. Tumenggung Sastranegara yang wafat tahun 1854 dan digantikan oleh R.A. Sumadipura (Patih di Purwakarta) yang bergelar R.T.A. Sastradiningrat I, yang dikenal pula sebagai Dalem Sepuh. Dalam masa pemerintahannya terus dilanjutkan upaya pembangunan yang telah dimulai oleh pendahulunya antara lain dapat diselesaikan pembuatan “Situ Buleud”, Bangunan Pendopo Kabupaten yang sekarang, Mesjid Agung, Perluasan Alun-alun, pembuatan Gedung Lembaga Permasyarakatan dan Asrama Tentara di Ceplak. Pelaksanaan pembangunan dipimpin oleh R. Tohir Natanegara (Kepala Cutak Karawang yang kemudian diangkat menjadi Patih di Purwakarta) dan R. Wirayasa II (Demang Sindangkasih) yang kemudian ditugaskan pula untuk membangun Waduk/Situ Kamojing untuk mengairi daerah Kewedanaan Adiarsa (Cikampek sekarang).
Upaya pembangunan Kota Purwakarta terus dilaksanakan, termasuk pengembangan pemukiman penduduk, samapai R.T.A. Sastradiningrat I wafat tahun 1863 dan digantikan oleh putranya yang bernama R. Adikusumah bergelar R.T.A. Sastradiningrat II yang berhasil memotivasi masyarakat pegunungan Wanayasa untuk meningkatkan penanaman kopi. Sebagai Patihnya tetap R. Tohir Natanegara yang kemudian digantikan oleh R. Sutadipura, salah seorang keturunan Panembahan R. Aria Wangsagoparana dari Sagaherang yang menurut kepercayaan rakyat dimakamkan di Nangkabeurit Kecamatan Sagalaherang, dari Beliau itilah menurunkan para Bupati Cikundul Cianjur.
Pengembangan daerah pemukiman dilanjutkan kesebelah Timur yang sekarang disebut Kampung Bojong dan pembukaan lahan pesawahan yang sekarang dikenal dengan daerah Sawah Lega. Pada masa akhir jabatannya R. Sutadipura berangkat ke Tanah Suci dan meninggal diperjalanan yakni di Ceylon (Srilanka), hingga ia dikenal sebagai Embah Patih Selong. Dalam Kepemimpinan R.T.A. Sastradiningrat II ini, Onderdistrict Gandasoli (Plered) kembali dimasukkan ke Kabupaten Karawang.
Setelah R.T.A Sastradiningrat II wafat tahun 1886, ia digantikan oleh puteranya yang bernama R. Suriakusumah bergelar R.A.A. Sastradiningrat III digantikan oleh adiknya bernama R.T.A Gandanegara, atau Dalem Aria, dengan patihnya R. Madiapura, masih putera Patih Selong. Oleh Pemerintah Pusat (Kolonial) R.T.A. Gandanegara diperintah agar menganjurkan rakyat di daerah Pamanukan dan Ciasem untuk menanam tebu, karena didaerah akan didirikan pabrik gula. Karena dipandang dampak negatifnya lebih besar bagi kehidupan rakyat di daerah tersebut maka pemerintah tersebut tidak dilaksanakan, bahkan rakyat dianjurkan untuk lebih banyak menanam padi. Kemudian R.T.A. Gandanegara dan Patihnya R. Madiadisuriamihardja dari Limbangan Garut, yang kemudian dinilai berprestasi sangat baik, sehingga berturut-turut mendapatkan gelar Aria, Adipati dan terakhir diberikan hak untuk menggunakan “songsong jene” (payung kebesaran berwarna kuning emas). Oleh karena itu ia dikenal sebagai Adipati Songsong Kuning, yang memerintah tahun 1925-1942, yaitu sampai berakhirnya kekuasaan Belanda dan beralih kepada kekuasan militer Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar